double income

supermom

Rabu, 29 Juni 2011

Lonceng Kematian Petani Tebu

L

ONCENG KEMATIAN PETANI TEBU

Memet Hakim

(CEO Emha Training Center & Advisory Service/Pengamat Perkebunan)

Berkembangnya industri gula nasional sangat tergantung pada Harga, Produktivitas dan Luasan Lahan. Dengan ditetapkannya provenue gula sebesar Rp 7.000/kg oleh pemerintah, maka dampaknya harga lelang ditingkat petani anjok antara Rp 7.000- Rp 7.500/kg (Kompas, 06.06.2011) dan bahkan hanya Rp 6.800 untuk produsen karena dipotong PPN (kompas, 11 Juni 2011) petani tentu enggan bertanam tebu, karena akan mengalami kerugian. Setelah menunggu selama 12 bulan, seluruh jerih payahnya berupa tenaga, biaya dan pengorbanan lainnya sia-sia belaka. Bagaimana dengan pedagang ? Mereka tetap untung, bahkan semakin menekan petani dengan banyaknya kebocoran gula mentah dan gula rafinasi ke pasar. Pertanyaannya siapa yang akan melindungi petani ?

Pemerintah khususnya departemen perdagangan yang seharusnya bertanggung jawab mungkin merasa berhasil karena konsumen diuntungkan. Importir baik swasta maupun pemerintah sama saja karakternya, kalau untung mau impor kalau rugi tidak mau. Mungkin saja ada sindikat seperti mafia dalam tata niaga gula yang melibatkan pihak importir dan oknum pemerintah/BUMN, karena selalu masalah ini terulang dan upaya swasembada gula dapat dikatakan tidak jalan. Dilain pihak yang menjadi korban adalah tetap petani.

Dengan tingkat produktivitas tanaman dan rendemen gula medium saja pada harga Rp 7.000 hasil usaha tani mengalami kerugian, apalagi jika tingkat produktivitas dan rendemen gula lebih rendah lagi.

Uraian

6

7

8

9

10

11

12

Produktivitas Tanaman (ton/ha)

80

80

80

80

80

80

80

Produktivitas Gula(Rend. 6-12 %)

4,800

5,600

6,400

7,200

8,000

8,800

9,600

Harga Jual (Rp/kg x 1.000)

7

7

7

7

7

7

7

Pendapatan

24,576

28,272

31,968

35,664

39,360

43,056

46,752

Biaya /ha








Biaya Tanaman

25,000

25,000

25,000

25,000

25,000

25,000

25,000

Biaya Pengolahan

-

-

-

-

-

-

-

Biaya Umum

3,000

3,000

3,000

3,000

3,000

3,000

3,000

Total Biaya Produksi

28,000

28,000

28,000

28,000

28,000

28,000

28,000

Harga Pokok (Rp/kg)

5,833

5,000

4,375

3,889

3,500

3,182

2,917

Laba Kotor/ha

(3,424)

272

3,968

7,664

11,360

15,056

18,752

Dari uraian diatas, pada situasi seperti sekarang rendemen 6 % saja jelas merugi. Tingkat rendemen 7 - 8 % baru pada tingkat rendemen mencapai 7-8 % petani tidak merugi. Petani dapat menikmati sisa hasil usaha taninya pada tingkat rendemen diatas 9 %, suatu kondisi yang saat ini sulit dapat dicapai. Mayoritas petani mendapatkan rendemen antara 5 – 7 %, karena diolah di Pabrik Gula BUMN. Petani yang mengirimkan tebunya ke pabrik swasta juga umumnya mendapatkan rendemen sekitar 7.5 %, walaupun rendemen gula milik sendiri antara 9 -10 %. Inilah fakta yang jarang terlihat dipermukaan.

Dengan kebijakan pemerintah seperti ini, sebenarnya pemerintah ingin membunuh petani bangsanya sendiri, dengan alasan klasik pemerintah seperti biasa “melindungi konsumen”, padahal yang untung hanya pedagang dan importir gula. Nasibnya petani tebu mungkin sama dengan petani umumnya tidak ada yang melindungi. Peran Negara tidak terlihat jika petani terpuruk, tapi jika petani mendapatkan keuntungan yang baik respon negara sangat cepat dalam bentuk segala pungutan pajak, retribusi dll. Pada saat harga sekitar Rp 9.000, petani sempat akan dikenakan PPN, kalau perusahaan sudah wajib sifatnya. Dikala harga jatuh ke angka Rp 7.000 peran negara seakan hilang, tidak ada subsidi produk ke petani atau produsen gula. Tidak ada pembelian sebesar harga dasar. Kalau melihat perilaku pemerintah seperti ini apa manfaatnya pemerintah bagi para petani ?

Kompas 11 Juni 2011 menulis banyaknya permasalahan pada industri gula, memang demikianlah adanya bahkan sindikat importir baik swasta maupun swasta seakan tidak ingin swasembada gula tercapai, sehingga dapat impor selamanya. Dengan rendahnya harga gula seperti ini mereka senang karena keuntungan pedagang akan lebih besar, terlihat harga retail dipasar hampir tidak ada perubahan. Jika setelah ini ada kenaikan harga, petani hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa yangmenikmati keuntungan tetap saja pedagang. Pemerintah hanya terseyum melihat keadaan ini.

Harga gula ideal ditingkat petani sebenarnya adalahRp 12.000/kg, dengan tingkat harga seperti ini para petani mendapatkan keuntungan yang layak, begitu juga pabrikan, sehingga industri gula akan berkembang dengan sendirinya. Apakah dengan harga ditingkat petani sebesar Rp 12.000, harga gula di tingkat retail akan melonjak tinggi ? Rasanya tidak juga karena pada tingkat ini justru para pedagang akan keberatan menimbun gula di gudangnya akibat margin yang lebih tipis.

Pabrik gula mendapatkan bagian sebesar 34 %, padahal hanya mengolah tebu yang dalam waktu kurang dari 24 jam telah menjadi gula, tanpa usah menunggu sampai 12 bulan dan bekerja keras dilapangan. Melihat kondisi ini tentu saja ada sesuatu yang tidak beres dalam perhitungan komposisi bagi hasil ini. Seandainya ada biaya umum akbibat inefisiensi tidak sewajarnya dibebankan kepada petani tebu rakyat tentunya. Tabel perhitungan pendapatan pabrik Gula diuraikan sebagai berikut :

No.

Uraian

6

7

8

9

10

11

12

1

Produktivitas Tanaman (ton/ha)

80

80

80

80

80

80

80

2

Produktivitas Gula(Rend. 6-12 %)

4,800

5,600

6,400

7,200

8,000

8,800

9,600

3

Harga Jual (Rp/kg x 1.000)

7

7

7

7

7

7

7

4

Pendapatan

13,824

15,728

17,632

19,536

21,440

23,344

25,248

5

Biaya /ha









Biaya Tanaman

-

-

-

-

-

-

-


Biaya Pengolahan

3,840

4,480

5,120

5,760

6,400

7,040

7,680


Biaya Umum

461

538

614

691

768

845

922


Total Biaya Produksi

4,301

5,018

5,734

6,451

7,168

7,885

8,602


Harga Pokok (Rp/kg)

896

896

896

896

896

896

896

6

Laba Kotor/ha

9,523

10,710

11,898

13,085

14,272

15,459

16,646

Perbandingan pendapat kotor antara pihak petani dan PG sebagai berikut :

%

6

7

8

9

10

11

12

Bagian Petani (66 )

(3,424)

272

3,968

7,664

11,360

15,056

18,752

Bagian Pabrik (34)

9,523

10,710

11,898

13,085

14,272

15,459

16,646

Dengan pola bagi hasil 66 : 34 untuk petani : pabrik gula, ternyata pada saat petani merugi pihak pabrik masih untung. Dari simulasi diatas terlihat petani merugi pada tingkat rendemen 6 %, belum untung (tidak rugi tapi untungnya dibawah wajar) pada tingkat rendemen 7-8 %, baru baru pada tingkat rendemen diatas 9 % petani dapat menikmati keuntungannya. Sedang pihak pabrik yang mengolah tebu jadi gula hanya kurang dari 24 jam tanpa adanya resiko alam, gangguan angkutan masih mendapatkan keuntungan walaupun agak rendah.

Akhir dari tulisan ini banyak pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban antara lain dimanakah peran pemerintah dikala petani merugi ? Adakah keinginan pemerintah agar benar-benar swasembada gula dapat dicapai ? Apakah benar-benar pemerintah dan para importer mau benar-benar berhenti mengimpor gula ? Apakah pemerintah menginginkan para petani tetap miskin ? Mengapa pemerintah lebih rela memperkaya petani luar negeri dibandingkan dengan petani bangsa sendiri ? Mengapa pemerintah harus menunggu petani berdemo ria untuk memperbaiki kondisi ini ? Masih adakah pemimpin yang mau memperhatikan petani ?

Jawaban atas pertanyaan diatas merupakan dasar pembuatan solusi yang dapat diambil jika pemerintah konsisten dengan tujuan swasembada. Semoga tulisan ini memberikan pemikiran yang sungguh-sungguh mendasar untuk menuju swasembada gula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar