PEMBUNUH INDUSTRI GULA
ITU TERNYATA RAFINASI
By
Redaksi, December 27, 2022
OLEH Dr Memet Hakim | Pengamat Sosial, Dosen LB UNPAD
Sejak pabrik gula rafinasi
diijinkan 1990 an, secara perlahan tapi pasti industri gula melemah. Kemenperin
(2020) mencatat, terdapat 11 pabrik gula rafinasi dengan kapasitas terpasang
5,016 juta ton per tahun. Semua milik swasta. Dominasi cengkraman aseng makin
kuat, sehingga industri gula & petani tebu terbunuh pelan2. Pabrik Gula
bumn makin menurun perannya. Upaya lewat holding (Sugar Co) belum terlihat hasilnya.
Memang ada kecenderungan
industri makanan/minuman terpenuhi kebutuhannya dengan impor raw sugar yg
diolah kembali menjadi gula rafinasi dengan harga yang murah, akan tetapi
petani di dalam negeri pelan2 mati, karena tidak mampu bersaing dengan murahnya
gula impor. Petani di luar negeri senyum2 berbahagia.
Sebenarnya, jika kita bangkitkan petani, artinya pertahanan pangan kita semakin
kuat, tapi jika industri makanan/minuman yg di prioritaskan, artinya kita
semakin tergantung dari negara luar. Sebagai negara agraris dan ingin
berdaulat penuh, tentu harusnya petani yg harus diutamakan.
Rina Oktabiani, Indef, (2015).
Jumlah pabrik gula kita jauh lebih banyak ketika di masa penjajahan. Pada
1930, jumlah pabrik gula mencapai 1.799. Sementara pada 2012
jumlahnya tinggal 62. Hal ini sesuai dengan penjelasan Ditjen
Industri Agro (2022), jumlah pabrik di Indonesia ada 62 pabrik, 43 PG BUMN dan
19 PG swasta.
Dirjen Perkebunan (2022).
memprediksi total kebutuhan industri dan rumah tangga di Indonesia
sekitar 7,3 juta ton termasuk 4,1 juta ton kebutuhan gula
industri. Namun produksi gula nasional 2021 baru
mencapai 2,35 juta ton yang terdiri dari produksi pabrik
gula BUMN sebesar 1,06 juta ton dan pabrik gula swasta sebesar 1,29 juta ton.
Produksi tersebut dialokasikan
untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebesar 3,2 juta ton, tapi masih
terdapat kekurangan sebesar 850 ribu ton hanya untuk kebutuhan gula konsumsi
saja. Sehingga, Indonesia masih harus mengimpor gula dari luar negeri hingga
saat ini. Sisanya tentu impor, iklim seperti terlihat dipelihara agar
kegiatan impor jalan terus.
Upaya untuk menurunkan
ketergantungan RI terhadap impor gula, sudah sejak lama digaungkan, tapi tidak
ada hasilnya, yang ada impornya bertambah besar. Political will yang serius
dari pemerintah memang belum terlihat, yang ada hanyalah upaya2 pemanis belaka,
sehingga terlihat ada kegiatan menuju arah peningkatan produksi.
Kenapa industri gula semakin
meredup ? Setidaknya ada 4 hal pokok yang menjadi alasan sbb :
1. Adanya pembangunan gula rafinasi, sehingga terjadi impor
besar2an dan rutin.
2. Adanya keinginan pemerintah untuk menahan harga gula di pasar, dengan alasan
melindungi konsumen*
Butir 1 & 2 akhirnya industri gula dan importirnya dikuasai
Aseng. Mereka tentu tidak ingin Indonesia menyetop impor gula, yang selama ini
sudah memberikan keuntungan finansial
3. Secara teknis & orientasi kerja ada penurunan kualitas SDM
4. Ada pergeseran lahan dari lahan subur ke lahan tidak subur, akibat
pembangunan perumahan karena ada pertambahan penduduk.
Awal mula dibentuknya pabrik
gula rafinasi tahun 1990 an, sampai terbentuknya pabrik gula rafinasi sebanyak
11 pabrik, kapasitas produksinya mencapai 5 juta ton. Utilisasinya baru 65%
atau terpakai sekitar 3 juta ton. Ini membuat hasrat impor terus menerus.
Selain itu selalu digaungkan alasan adanya
kekurangan kebutuhan gula industri yang berbeda kualitasnya dg gula konsumsi. Disinilah
ketemunya birokrat, importir dan mungkin politisi bersama sama selingkuh,
pelan tapi pasti untuk membunuh industri gula nasional dan petani tebu.
Lihatlah areal tanaman tebu
semakin menyusut, jumlah pabrik semakin sedikit. Tidak jarang kebun dan pabrik
beralih fungsi, bahkan lahannya disewakan. Padahal jaman Belanda (1930)
Indonesia sempat jadi pengekpor terbesar di dunia.
Komoditi
gula bukan komoditi perdagangan biasa tapi komoditi strategis, akan
tetapi jika komoditi gula dianggap sebagai komoditi dagang
biasa tentu dapat memperlemah ketahanan negara.
Di negara maju sekalipun sektor
pertanian selalu diperhatikan dan dikaitkan dengan ketahanan negara. Dibawah
kementerian BUMN diharapkan manisnya gula ini diperhatikan, dan dikembangkan
lebih jauh menjadi industri gula yang kuat bahkan mendi ekportir kelak.
Kuatnya cengkeraman aseng
sangat mendominasi merosotnya produksi gula. Untuk membangkitkan kejayaan gula,
Indonesia masih punya peluang yang besar yakni lahan yang cukup, SDM/petani
tersedia & masih adanya nalai penelitian gula. Untuk itu perlu
niat yang kuat dan berani memutuskan kebijakan yang
berpihak pada petani & BUMN.
Persoalan gula serupa dengan
masalah komoditi pertanian lainnya. Selama kementerian perdagangan,
perindustrian, pertanian, keuangan dan BUMN tidak punya niat kuat memperhatikan
petani, ya jangan terlalu berharap, negara kita menjadi kuat
Sebagai “praktisi &
pemegang hak cipta metoda agronomi pada tanaman tebu” di Univ. Padjadjaran
penulis meyakini sekali bahwa SDM kita masih cukup, hanya perlu ditingkatkan
kapasitasnya dan perlu dibangun kembali orientasi kerjanya. Merupakan tanggung
jawab pemerintah sepenuhnya untuk memulihkan iklim usaha di industri
gula.
Untuk
itu diperlukan kebijakan agar seluruh pabrik rafinasi dan impornya dikuasai
bumn seluruhnya, agar bumn punya kekuatan menata kembali industri gula ini.
Pabrik gula swasta non rafinasi beserta kebunnya dapat dijadikan mitra dan
menjadi bench mark keberhasilan bumn. Jika komoditi strategis ini dikuasai
swasta seluruhnya tinggal menunggu semakin hancur saja petaninya.
Bandung, 27 Desember 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar